“Life is the movie you see through your own eyes. It makes little difference what's happening out there. It's how you take it that counts.” —Denis Waitley
Sebenarnya ini tulisan lamaku. Cukup mubazir rasanya bila tidak aku post disini hehe
28 July 2010 at 3:20 am. Saat itu aku masih sering begadang, dan pagi buta kuterngiang kata-kata papa. Maka dari itu kutuangkanlah tulisan sederhana ini dengan handphone diatas tempat tidurku…
Sering kali kita merasa jenuh dengan apa yang kita miliki tidak sepenuhnya memuaskan kita. Ya. Manusia tidak akan pernah merasa puas. Coba kamu bertanya pada dirimu sendiri. Sudah puaskah kamu dengan apa yang kamu punya sekarang? Hingga saat ini?
Terkadang aku muak dengan kata 'Jangan melihat keatas saja, lihatlah kebawah sana.' Kurasakan kata-kata itu kuno. Sok bijak. Sok suci. Dengan begitu hati ini bergumul 'Jangan melihat ke bawah terus juga dong! Sesekali lihat keatas pun perlu. Dan itu lebih indah!' Itu yang sering kali kurasakan hingga sesuatu itu terucap dari mulut papa.
Aku hidup dikeluarga yang berkecukupan. Tak jarang kurang, terkadang lebih. Kamipun masih sering kali membeli pakaian mahal, sesekali bersenang-senang hingga lupa diri. Bahagia. Cukup bahagia. Mengeluhpun kami sering lakukan. Karna begitu banyak nafsu dan hal yang kami butuhkan. Kurang dari kata cukup.
Kalimat itu. 'Lihatlah kebawah. Banyak orang-orang—baik disekitar kita—yang tidak lebih beruntung dari kita.' Agama selalu mengajarkan hal-hal yang baik. Semua itu untuk kebaikan umatnya. Hati tidak boleh tamak. Ingatlah bahwa harta itu hanya sementara, dan sebagian merupakan titipan Allah. Dan berendah dirilah juga bersabar jikalau apa yang kamu mau belum kamu dapatkan.
Malam itu tiba-tiba saja papa bercerita. Di lingkungan kami, masih ada orang-orang yang kurang beruntung. Salah satunya tetangga kami. Well cukup dekat, jaraknya hanya dibatasi oleh beberapa rumah.
Kisahnya, anak dari keluarga itu bersekolah. Jikalau pagi hari, saat anaknya akan berangkat sekolah, ibunya memanggilkan ojek disekitar rumah (lingkungan rumahku cukup banyak yangg berprofesi sebagai tukang ojek) karena jarak rumahnya hingga ke sekolah cukup jauh…
Papa berkata “Coba kamu fikir. Kenapa tidak anaknya saja yang langsung pergi mencari ojek lalu berangkat ke sekolah? Kenapa harus ibunya yang berepot-repot hingga berjalan tergesa-gesa mencarikan ojek untuknya?” Aku menggeleng dan diam sambil berfikir. Kemudian penjelasan papa begitu mengetuk hatiku. Ibu mencari hutangan ojek untuk mengantar anaknya menuntut ilmu. Agar anaknya sampai tujuan dengan selamat. Agar tidak terlambat dan dihukum. Agar tidak kelelahan sebelum putri kesayangannya itu menerima ilmu dari guru yang mendidiknya. Tidakkah kamu merasa seberapa besar pengorbanan orang tua demi anaknya? Meski dia kesulitan, makan pun susah, banyak beban hutang dan moril sana-sini, namun orang tua terus berusaha untuk kebaikan anaknya. Demi kebahagiaan anaknya! Subhanallah…
Aku menyadari sering kali hatku terbelenggu oleh rasa iri dan banyak Keingian. Melihat teman-temanku yang cukup banyak diatas kemampuan, hingga menjadikan aku seorang yang lupa diri dan kurang bersyukur. Aku sangat berterimakasih kepada papa yang mengingatkanku juga menyadarkanku. Aku adalah anak yang beruntung. Sudah sepatutnya aku mensyukuri apa yang ada. Segala nikmat yang Allah berikan.
Aku menyadari sering kali hatku terbelenggu oleh rasa iri dan banyak Keingian. Melihat teman-temanku yang cukup banyak diatas kemampuan, hingga menjadikan aku seorang yang lupa diri dan kurang bersyukur. Aku sangat berterimakasih kepada papa yang mengingatkanku juga menyadarkanku. Aku adalah anak yang beruntung. Sudah sepatutnya aku mensyukuri apa yang ada. Segala nikmat yang Allah berikan.
“Masih banyak orang tua yang mati-matian menyekolahkan anaknya hingga lulus sekolah. Bahkan lulus sma pun masih banyak yang sulit. Bersyukurlah kamu papa masih bisa. Papa masih mampu menyekolahkanmu hingga kuliah seperti sekarang. Makanya kamu jangan lihat ke atas saja. Sesekali lihatlah kebawah. Maka kamu akan menikmati bagaimana nikmatnya bersukur...” Mendengarnya membuat aku terdiam. Di zaman seperti sekarang ini, sering-seringlah kita mengingatkan diri sendiri. Kusadari aku-pun sering kali terlarut dalam kemewahan orang-orang yang lebih beruntung dariku. Sampai aku lupa diri. Dan malam itu kuingat dengan jelas aku mengetik tulisan ini sambil menitikan air mata. Air mata penyesalan, haru, dan penuh syukur. Semoga pembaca pun mendapatkan manfaat setelah membacanya. xoxo
0 COMMENTS:
Post a Comment